MAKALAH KIMONO
UNTUK
MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Nihon
Bunka
Disusun
Oleh :
Farid
Fahruddin Noor (1125110600111004)
Lia
Aprilina (125110600111003)
Nur
Ayu Permata Sari (1251106001110037)
Titik
Novi Jayanti (125110601111018)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
DAN SASTRA BAHASA JEPANG
FAKULTAS
ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
KATA PENGANTAR
Puji
syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan
karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Dalam makalah ini kami membahas
tentang “Kimono” yaitu pakain tradisional Jepang. Makalah ini dibuat dalam
rangka memperdalam pemahaman tentang kebudayaan jepang.
Pemahaman tentang kebudayaan jepang
sangat penting dipahami, karena dari kebudayaan itulah kita akan mengetahui
tentang kehidupan masyarakat jepang. Serta lebih mendalami tentang jepang
secara utuh.
Tidak
lupa kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing dan teman-teman yang
telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya.
Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
kepada kita sekalian. Amin…
Malang, 18 April 2013
Penulis
Kelompok
7
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Bab I PENDAHULUAN iii
a. Latar Belakang iii
b. Rumusan Masalah iii
Bab II ISI 1
a. Pengertian Kimono 1
b. Sejarah Kimono 2
c. Jenis-Jenis Kimono 8
d. Falsafah Kimono 12
e. Aksesori Kimono 13
f. Cara pembuatan kimno 15
Bab III PENUTUP 17
Kesimpulan 17
Saran 17
DAFTAR PUSTAKA
18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kimono adalah pakaian tradisional
Jepang terutama yang dikenakan oleh perempuan. A, panjang dan longgar,
T-berbentuk jubah dengan kerah lebar dan lengan yang melekat, itu dijamin
dengan sabuk, yang dikenal sebagai “obi.” Kata “Kimono” berasal dari dua kata
“ki” (berarti “pakai”) dan “mono” (berarti “sesuatu”). Kimono secara
tradisional terbuat dari sepotong kain, disebut “tan.” Kapas ringan paling
mudah bagi pemula untuk; sutra atau satin sangat ideal untuk dicapai
Beberapa catatan sejarah mencatat
ada beberapa kimono-kimono yang berlaku di masyarakat Jepang pada waktu itu. Di
Jepang sendiri memiliki bentuk-bentuk pakaian tradisional yang hampir mirip
dengan kimono, namun dengan berkembangnya zaman pakaian tersebut kini di klasifikasikan
menjadi bagian-bagian dari kimono.
Dengan begitu menariknya bahasan
tentang kimono pentingnya akan pengetahuan mengenai budaya Jepang, maka kami
akan membahas beberapa hal yang berkaitan dengan kimono baik itu sejarah,
bentuk maupun cara pemakaianya.
B. Rumusan
Masalah
·
Apa
pengertian dari kimono?
·
Bagaimana
catatan sejarah mengenai kimono?
·
Apa
saja jenis-jenis dari kimono?
·
Apa
falsafah dari kimono?
·
Apa
saja aksesoris yang dapat dipakaikan pada kimono?
·
Bagaimana
cara pembuatan kimono?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN KIMONO
Kimono (着物) adalah pakaian tradisional Jepang. Arti harfiah
kimono adalah baju atau sesuatu
yang dikenakan (ki berarti pakai, dan mono berarti barang).
Pada zaman
sekarang, kimono berbentuk seperti huruf "T", mirip mantel berlengan panjang dan berkerah. Panjang
kimono dibuat hingga ke
pergelangan kaki. Wanita mengenakan kimono berbentuk baju terusan,
sementara pria mengenakan kimono berbentuk setelan. Kerah bagian kanan harus berada di
bawah kerah bagian
kiri. Sabuk kain yang disebut obi
dililitkan di
bagianperut atau pinggang, dan diikat di
bagian punggung. Alas kaki
sewaktu mengenakan kimono adalah zouri atau geta.
Kimono sekarang
ini lebih sering dikenakan wanita pada kesempatan istimewa. Wanita yang belum
menikah mengenakan sejenis kimono yang disebut furisode. Ciri khas furisode adalah lengan yang
lebarnya hampir menyentuh lantai. Perempuan yang genap berusia 20 tahun
mengenakan furisode untuk menghadiriseijin shiki. Pria mengenakan kimono pada pesta pernikahan, upacara minum teh, dan acara
formal lainnya. Ketika tampil di luar arena sumo, pesumo profesional diharuskan
mengenakan kimono. Anak-anak mengenakan kimono ketika menghadiri perayaan Shichi Go San. Selain itu,
kimono dikenakan pekerja bidang industri jasa dan pariwisata, pelayan wanita
rumah makan tradisional (ryoutei) dan pegawai
penginapan tradisional (ryokan).
Pakaian pengantin wanita
tradisional Jepang (hanayome ishō) terdiri dari furisode dan uchikake
(mantel yang dikenakan di atas furisode). Furisode untuk
pengantin wanita berbeda dari furisode untuk wanita muda yang belum
menikah. Bahan untuk furisode pengantin diberi motif yang dipercaya
mengundang keberuntungan, seperti gambar burung jenjang. Warna furisode pengantin juga
lebih cerah dibandingkan furisode biasa. Shiromuku adalah sebutan
untuk baju pengantin wanita tradisional berupa furisode berwarna putih bersih dengan
motif tenunan yang juga berwarna putih.
Sebagai pembeda
dari pakaian Barat (yōfuku) yang dikenal sejak zaman meiji, orang Jepang
menyebut pakaian tradisional Jepang sebagai wafuku (和服, pakaian Jepang). Sebelum dikenalnya pakaian Barat, semua pakaian yang
dipakai orang Jepang disebut kimono. Sebutan lain untuk kimono adalah gofuku
(呉服). Istilah gofuku mulanya dipakai untuk menyebut pakaian orang
negara Dong Wu (bahasa
Jepang : negara Go) yang tiba di Jepang dari daratan Cina.
B.
SEJARAH KIMONO
I.
Zaman Jomon dan zaman Yayoi
Pakaian wanita pada sekitar tahun 1870
Kimono zaman Jomon dan zaman Yayoi berbentuk
seperti baju terusan. Dari situs arkeologi tumpukan kulit kerang zaman Jomon yang disebut haniwa. Pakaian atas
yang dikenakan haniwa disebut kantoi (貫頭衣).
Dalam Gishiwajibden
(buku sejarah Cina mengenai tiga negara) ditulis tentang pakaian sederhana
untuk laki-laki. Sehelai kain diselempangkan secara horizontal pada tubuh pria
seperti pakaian
biksu, dan sehelai kain dililitkan di kepala. Pakaian wanita dinamakan kantoi.
Di tengah sehelai kain dibuat lubang untuk memasukkan kepala. Tali digunakan
sebagai pengikat di bagian pinggang.
Masih menurut Gishiwajinden,
kaisar wanita bernama Himiko dari Yamataikoku (sebutan zaman dulu untuk Jepang)
"selalu mengenakan pakaian kantoi berwarna putih". Serat rami
merupakan bahan pakaian untuk rakyat biasa, sementara orang berpangkat
mengenakan kain sutra.
II.
Zaman Kofun
Pakaian zaman kofun mendapat pengaruh dari daratan Cina, dan
terdiri dari dua potong pakaian: pakaian atas dan pakaian bawah. Haniwa
mengenakan baju atas seperti mantel
yang dipakai
menutupi kantoi. Pakaian bagian bawah berupa rok yang dililitkan
di pinggang. Dari penemuan haniwa terlihat pakaian berupa celana berpipa
lebar seperti
hakama.
Pada zaman Kofun mulai dikenal
pakaian yang dijahit. Bagian depan kantoi dibuat terbuka dan lengan baju
bagian bawah mulai dijahit agar mudah dipakai. Selanjutnya, baju atas terdiri
dari dua jenis kerah:
·
Kerah datar sampai persis di bawah
leher (agekubi)
·
Kerah berbentuk huruf "V" (tarekubi)
yang dipertemukan di bagian dada.
III.
Zaman Nara
Aristokrat zaman Asuka bernama Pangeran shotoku menetapkan dua
belas strata jabatan dalam istana kaisar (kan-i jūnikai). Pejabat istana
dibedakan menurut warna hiasan penutup kepala (kanmuri). Dalam kitab
hukum Taiho Ritsutryo imuat peraturan tentang busana resmi, busana pegawai
istana, dan pakaian seragam dalam istana. Pakaian formal yang dikenakan pejabat
sipil (bunkan) dijahit di bagian bawah ketiak. Pejabat militer
mengenakan pakaian formal yang tidak dijahit di bagian bawah ketiak agar
pemakainya bebas bergerak. Busana dan aksesori zaman Nara banyak dipengaruhi
budaya Cina yang masuk ke Jepang. Pengaruh budaya Dinasti Tangikut
memopulerkan baju berlengan sempit yang disebut kosode untuk dikenakan
sebagai pakaian dalam.
Pada zaman Nara
terjadi perubahan dalam cara mengenakan kimono. Kalau sebelumnya kerah bagian
kiri harus berada di bawah kerah bagian kanan, sejak zaman Nara, kerah bagian
kanan harus berada di bawah kerah bagian kiri. Cara mengenakan kimono dari
zaman Nara terus dipertahankan hingga kini. Hanya orang meninggal dipakaikan
kimono dengan kerah kiri berada di bawah kerah kanan.
IV.
Zaman Heian
Menurut
aristokrat Sugawara
Michizane, penghentian pengiriman utusan Jepang untuk Dinasti Tang
(kentoshi) memicu pertumbuhan budaya lokal. Tata cara berbusana dan
standardisasi protokol untuk upacara-upacara formal mulai ditetapkan secara
resmi. Ketetapan tersebut berakibat semakin rumitnya tata busana zaman Heian.
Wanita zaman Heian mengenakan pakaian berlapis-lapis yang disebut jūnihitoe.
Tidak hanya wanita zaman Heian, pakaian formal untuk militer juga menjadi tidak
praktis.
Ada tiga jenis
pakaian untuk pejabat pria pada zaman Heian:
·
Sokutai (pakaian
upacara resmi berupa setelan lengkap)
·
I-kan (pakaian untuk
tugas resmi sehari-hari yang sedikit lebih ringan dari sokutai)
·
Noshi (pakaian untuk
kesempatan pribadi yang terlihat mirip dengan i-kan).
Rakyat biasa
mengenakan pakaian yang disebut suikan atau kariginu (狩衣), arti
harafiah: baju berburu). Di kemudian hari, kalangan aristokrat menjadikan kariginu
sebagai pakaian sehari-hari sebelum diikuti kalangan samurai.
Pada zaman
Heian terjadi pengambilalihan kekuasaan oleh kalangan samurai, dan bangsawan
istana dijauhkan dari dunia politik. Pakaian yang dulunya merupakan simbol
status bangsawan istana dijadikan simbol status kalangan samurai.
V.
Zaman Kamakura dan zaman Muromachi
Padazaman Sengoku, kekuasaan
pemerintahan berada di tangan samurai. Samurai mengenakan pakaian yang disebut suikan. Pakaian jenis ini
nantinya berubah menjadi pakaian yang disebut hitatare. Pada zaman Muromachi, hitatare
merupakan pakaian resmi samurai. Pada zaman Muromachi dikenal kimono yang
disebut suō (素襖), yakni sejenis hitatare yang
tidak menggunakan kain pelapis dalam. Ciri khas suō adalah lambang
keluarga dalam ukuran besar di delapan tempat.
Pakaian wanita
juga makin sederhana. Rok bawah yang disebut mo (裳) makin pendek
sebelum diganti dengan hakama. Setelan mo dan hakama
akhirnya hilang sebelum diganti dengan kimono model terusan, dan kemudian
kimono wanita yang disebut kosode. Wanita
mengenakan kosode dengan kain yang dililitkan di sekitar pinggang (koshimaki)
dan/atau yumaki. Mantel panjang yang disebut uchikake dipakai
setelah memakai kosode.
VI.
Awal zaman Edo
Penyederhaan
pakaian samurai berlanjut hingga zaman Edo. Pakaian samurai zaman Edo adalah
setelan berpundak lebar yang disebut kamishimo (裃). Satu setel
kamishimo terdiri dari kataginu (肩衣) dan hakama. Di kalangan
wanita, kosode menjadi semakin populer sebagai simbol budaya orang kota
yang mengikuti tren busana.
Zaman Edo
adalah zaman keemasan panggung sandiwara kabuki. Penemuan cara penggandaan lukisan
berwarna-warni yang disebut nishiki-e
atau ukiyo-e mendorong makin
banyaknya lukisan pemeran kabuki yang mengenakan kimono mahal dan gemerlap.
Pakaian orang kota pun cenderung makin mewah karena iking meniru pakaian aktor
kabuki.
Kecenderungan orang
kota berpakaian semakin bagus dan jauh dari norma konfusianisme ingin dibatasi
oleh Kenshogunan Edo. Secara
bertahap pemerintah keshogunan memaksakan kenyaku-rei, yakni norma
kehidupan sederhana yang pantas. Pemaksaan tersebut gagal karena keinginan
rakyat untuk berpakaian bagus tidak bisa dibendung. Tradisi upacara minum teh menjadi sebab
kegagalan kenyaku-rei. Orang menghadiri upacara minum teh memakai kimono
yang terlihat sederhana namun ternyata berharga mahal.
Tali pinggang kumihimo
dan gaya mengikat obi
di punggung
mulai dikenal sejak zaman Edo. Hingga kini, keduanya bertahan sebagai aksesori
sewaktu mengenakan kimono.
VII.
Akhir zaman Edo
Politik isolasi
(sakoku) membuat terhentinya impor benang sutra. Kimono mulai dibuat dari benang sutra
produksi dalam negeri. Pakaian rakyat dibuat dari kain sutra jenis crape lebih murah.
Setelah terjadi kelaparan
zaman Temmei (1783-1788), Keshogunan Edo pada tahun 1785 melarang rakyat
untuk mengenakan kimono dari sutra. Pakaian orang kota dibuat dari kain katun atau kain rami. Kimono
berlengan lebar yang merupakan bentuk awal dari furisode populer di
kalangan wanita.
VIII.
Zaman Meiji dan zaman Taisho
Industri
berkembang maju pada
zaman Meiji. Produksi sutra meningkat, dan Jepang menjadi eksportir
sutra terbesar. Harga kain sutra tidak lagi mahal, dan mulai dikenal
berjenis-jenis kain sutra. Peraturan pemakaian benang sutra dinyatakan tidak
berlaku. Kimono untuk wanita mulai dibuat dari berbagai macam jenis kain sutra.
Industri pemintalan
sutra didirikan
di berbagai tempat di Jepang. Sejalan dengan pesatnya perkembangan industri
pemintalan, industri tekstil benang sutra ikut berkembang. Produknya berupa
berbagai kain sutra, mulai dari
kain krep, rinzu, omeshi, hingga meisen.
Tersedianya
beraneka jenis kain yang dapat diproses menyebabkan berkembangnya teknik
pencelupan kain. Pada zaman Meiji mulai dikenal teknik yuzen, yakni
menggambar dengan kuas
untuk
menghasilkan corak kain di atas kain kimono.
Sementara itu, wanita kalangan atas
masih menggemari kain sutra yang bermotif garis-garis dan susunan gambar yang
sangat rumit dan halus. Mereka mengenakan kimono dari model kain yang sudah
populer sejak zaman Edo sebagai pakaian terbaik sewaktu menghadiri acara
istimewa. Hampir pada waktu yang bersamaan, kain sutra hasil tenunan benang
berwarna-warni hasil pencelupan
mulai disukai
orang.
Tidak lama
setelah pakaian impor dari Barat mulai masuk ke Jepang, penjahit lokal mulai
bisa membuat pakaian Barat. Sejak itu pula, istilah wafuku dipakai untuk
membedakan pakaian yang selama ini dipakai orang Jepang dengan pakaian dari
Barat. Ketika pakaian Barat mulai dikenal di Jepang, kalangan atas memakai
pakaian Barat yang dipinjam dari toko persewaan pakaian Barat.
Di era
modernisasi Meiji, bangsawan istana mengganti kimono dengan pakaian Barat
supaya tidak dianggap kuno. Walaupun demikian, orang kota yang ingin
melestarikan tradisi estetika keindahan tradisional tidak menjadi terpengaruh.
Orang kota tetap berusaha mempertahankan kimono dan tradisi yang dipelihara
sejak zaman Edo. Sebagian besar pria zaman Meiji masih memakai kimono untuk
pakaian sehari-hari. Setelan jas
sebagai busana
formal pria juga mulai populer. Sebagian besar wanita zaman Meiji masih
mengenakan kimono, kecuali wanita bangsawan dan guru wanita yang bertugas
mengajar anak-anak perempuan.
Seragam militer dikenakan oleh
laki-laki yang mengikuti dinas militer. Seragam tentara angkatan darat menjadi
model untuk seragam sekolah anak laki-laki. Seragam anak sekolah juga
menggunakan model kerah berdiri yang mengelilingi leher dan tidak jatuh ke
pundak (stand-up collar) persis model kerah seragam tentara. Pada akhir
zaman Taisho, pemerintah menjalankan kebijakan mobilisasi. Seragam anak sekolah
perempuan diganti dari andonbakama (kimono dan hakama) menjadi pakaian
Barat yang disebut serafuku (sailor fuku), yakni setelan blus
mirip pakaian pelaut dan rok.
IX.
Zaman Showa
Semasa perang,
pemerintah membagikan pakaian seragam untuk penduduk laki-laki. Pakaian seragam
untuk laki-laki disebut kokumin fuku (seragam rakyat). Wanita dipaksa
memakai monpei yang berbentuk seperti celana panjang untuk kerja dengan
karet di bagian pergelangan kaki.
Setelah Jepang
kalah dalam Perang
Dunia II wanita Jepang mulai kembali mengenakan kimono sebelum
akhirnya ditinggalkan karena tuntutan modernisasi. Dibandingan kerumitan
memakai kimono, pakaian Barat dianggap lebih praktis sebagai pakaian sehari-hari.
Hingga
pertengahan tahun
1960-an, kimono masih banyak dipakai wanita Jepang sebagai
pakaian sehari-hari. Pada saat itu, kepopuleran kimono terangkat kembali
setelah diperkenalkannya kimono berwarna-warni dari bahan wol. Wanita zaman
itu menyukai kimono dari wol sebagai pakaian untuk kesempatan santai.
Setelah kimono
tidak lagi populer, pedagang kimono mencoba berbagai macam strategi untuk
meningkatkan angka penjualan kimono. Salah satu di antaranya dengan
mengeluarkan "peraturan mengenakan kimono" yang disebut yakusoku.
Menurut peraturan tersebut, kimono jenis tertentu dikatakan hanya cocok dengan
aksesori tertentu. Maksudnya untuk mendikte pembeli agar membeli sebanyak
mungkin barang. Strategi tersebut ternyata tidak disukai konsumen, dan minat masyarakat
terhadap kimono makin menurun. Walaupun pedagang kimono melakukan promosi
besar-besaran, opini "memakai kimono itu ruwet" sudah terbentuk di
tengah masyarakat Jepang.
Hingga tahun
1960-an, kimono masih dipakai pria sebagai pakaian santai di rumah. Gambar pria
yang mengenakan kimono di rumah masih bisa dilihat dalam berbagai manga terbitan tahun
1970-an. Namun sekarang ini, kimono tidak dikenakan pria sebagai pakaian di
rumah, kecuali samue yang dikenakan
para perajin.
C.
JENIS KIMONO
1.
Kimono wanita
Pemilihan jenis
kimono yang tepat memerlukan pengetahuan mengenai simbolisme dan isyarat
terselubung yang dikandung masing-masing jenis kimono. Tingkat formalitas
kimono wanita ditentukan oleh pola tenunan dan warna, mulai dari kimono paling
formal hingga kimono santai. Berdasarkan jenis kimono yang dipakai, kimono bisa
menunjukkan umur pemakai, status perkawinan, dan tingkat formalitas dari acara
yang dihadiri.
Tomesode adalah kimono paling formal untuk wanita yang
sudah menikah. Bila berwarna hitam, kimono jenis
ini disebut kurotomesode (arti harfiah: tomesode hitam). Kurotomesode memiliki
lambang keluarga (kamon) di tiga tempat: 1 di punggung, 2 di dada bagian
atas (kanan/kiri), dan 2 bagian belakang lengan (kanan/kiri). Ciri khas
kurotomesode adalah motif indah pada suso (bagian bawah sekitar kaki)
depan dan belakang. Kurotomesode dipakai untuk menghadiri resepsi pernikahan dan
acara-acara yang sangat resmi.
Kurotomesode
dengan 5 buah lambang keluarga
Tomesode yang dibuat dari kain berwarna disebut
irotomesode (arti harfiah: tomesode berwarna). Bergantung kepada tingkat
formalitas acara, pemakai bisa memilih jumlah lambang keluarga pada kain
kimono, mulai dari satu, tiga, hingga lima buah untuk acara yang sangat formal.
Kimono jenis ini dipakai oleh wanita dewasa yang sudah/belum menikah. Kimono
jenis irotomesode dipakai untuk menghadiri acara yang tidak memperbolehkan tamu
untuk datang memakai kurotomesode, misalnya resepsi di istana kaisar. Sama halnya
seperti kurotomesode, ciri khas irotomesode adalah motif indah pada suso.
Furisode adalah kimono paling formal untuk wanita muda
yang belum menikah. Bahan berwarna-warni cerah dengan motif mencolok di seluruh
bagian kain. Ciri khas furisode adalah bagian lengan yang sangat lebar dan
menjuntai ke bawah. Furisode dikenakan sewaktu menghadiri upacara seijin shiki, menghadiri
resepsi pernikahan teman, upacara
wisuda, atau hatsumode. Pakaian
pengantin wanita yang disebut hanayome ishō termasuk salah satu jenis
furisode.
Hōmon-gi (訪問着), arti harfiah:
baju untuk berkunjung) adalah kimono formal untuk wanita, sudah menikah atau
belum menikah. Pemakainya bebas memilih untuk memakai bahan yang bergambar
lambang keluarga atau tidak. Ciri khas homongi adalah motif di seluruh bagian
kain, depan dan belakang. Homongi dipakai sewaktu menjadi tamu resepsi
pernikahan, upacara
minum teh, atau merayakan tahun baru.
Iromuji adalah kimono semiformal, namun bisa dijadikan
kimono formal bila iromuji tersebut memiliki lambang keluarga (kamon).
Sesuai dengan tingkat formalitas kimono, lambang keluarga bisa terdapat 1, 3,
atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada). Iromoji dibuat
dari bahan tidak bermotif dan bahan-bahan berwarna lembut, merah jambu, biru muda, atau kuning muda atau
warna-warna lembut. Iromuji dengan lambang keluarga di 5 tempat dapat dikenakan
untuk menghadiri pesta pernikahan. Bila menghadiri upacara minum teh, cukup
dipakai iromuji dengan satu lambang keluarga.
Tsukesage adalah kimono semiformal untuk wanita yang
sudah atau belum menikah. Menurut tingkatan formalitas, kedudukan tsukesage hanya
setingkat dibawah homongi. Kimono jenis ini tidak memiliki lambang keluarga.
Tsukesage dikenakan untuk menghadiri upacara minum teh yang tidak begitu resmi,
pesta pernikahan, pesta resmi, atau merayakan tahun baru.
Komon adalah kimono santai untuk wanita yang sudah atau
belum menikah. Ciri khas kimono jenis ini adalah motif sederhana dan berukuran
kecil-kecil yang berulang. Komon dikenakan
untuk menghadiri pesta reuni, makan malam, bertemu
dengan teman-teman, atau menonton pertunjukan di gedung.
Tsumugi adalah kimono santai untuk dikenakan sehari-hari
di rumah oleh wanita yang sudah atau belum menikah. Walaupun demikian, kimono
jenis ini boleh dikenakan untuk keluar rumah seperti ketika berbelanja dan
berjalan-jalan. Bahan yang dipakai adalah kain hasil tenunan sederhana dari benang
katun atau
benang sutra kelas rendah yang tebal dan kasar. Kimono jenis ini tahan lama,
dan dulunya dikenakan untuk bekerja di ladang.
Yukata adalah kimono santai yang dibuat dari kain katun tipis
tanpa pelapis untuk kesempatan santai di musim panas.
2.
Kimono pria
Bagian punggung montsuki dihiasi lambang keluarga pemakai.
Setelan montsuki yang dikenakan bersama hakama dan haori merupakan busana
pengantin pria tradisional. Setelan ini hanya dikenakan sewaktu menghadiri upacara
sangat resmi, misalnya resepsi pemberian penghargaan dari kaisar/pemerintah
atau seijin
shiki.
·
Kimono santai kinagashi
Pria mengenakan
kinagashi sebagai pakaian sehari-hari atau ketika keluar rumah pada
kesempatan tidak resmi. Aktor kabuki mengenakannya
ketika berlatih. Kimono jenis ini tidak dihiasi dengan lambang keluarga.
D.
MAKNA KIMONO
Bangsa yang besar lahir bukan dari
rahim kolonialisme tetapi untuk menjadi bangsa yang besar diperlukan identitas
kultural yang mapan dan kuat. Jepang telah membuktikan bahwa bangsa Jepang
mempunyai identitas sebagai bangsa yang berkarakter kebangsaan. Salah satunya
dapat dilihat dari budaya yang masih dilestarikan hingga sekarang. Misalnya,
pakian tradisional kimono menjadi salah satu tren merek Negara Jepang. Begitu
orang mendengar kata kimono pasti merujuk pada negara Jepang. Keberhasilan Negara
Jepang dalam membangun image kebangsaan telah menjadikan Jepang dikatakan
sebagai bangsa yang besar. Nilai
kearifan lokal dapat dijumpai dalam pakian tradisional jepang yaitu Kimono.
Meskipun anak remaja Jepang sekarang ini sudah jarang mengenakan pakaian
Kimono. Kimono masih menjadi unsur penting dalam budaya masyarakat Jepang.
Unsur yang menonjol dalam pakaian kimono adalah terletak pada karakter dan
corak pakaian kimono yang unik. Keunikan Pakaian kimono dapat dilihat. Pertama,
teknik memakai pakian kimono yang tidak semua orang bisa memakainya. Kedua,
kimono sebagai simbol penghargaan atas
kaum perempuan yang menjaga adat ketimuran yaitu adat yang suka melihat
perempuan berpakaian pantas dan sopan di depan umum. Ketiga, kimono memberikan pesan moral bahwa
perempuan hendaknya selalu berpakaian yang rapi, sopan dan pantas di depan
umum.
Identitas
kimono yang tidak bisa terlepas dari bahasa dan budaya Jepang. Seolah-olah
telah menghipnotis bangsa lain untuk mengakui identitas kejepangan tanpa harus
melakukan jepangisasi bagi rakyatnya. Ekspansi kebudayaan dan bahasa yang
mengalir begitu saja telah membawa keberuntuangan tersendiri bagi negara Jepang
untuk mempromosikan kebudayaan Jepang secara masif ke seluruh dunia. Sehingga
dapat dibayangkan bahwa budaya telah memberikan dampak pada kuatnya identitas
suatu bangsa. Dimensi yang menonjol dalam pakian kimono dapat dilihat dari
konsistensi model dan karakter pakian kimono yang tidak berubah. Nilai-nilai
yang ada dalam pakaian kimono telah melebar menjadi satu dengan realitas
masyarakat Jepang seperti kesopanan, kerapian, keteraturan, ketertiban dan
kepatuhan masih menjadi nilai-nilai utama dalam masyarakat Jepang secara umum.
E. AKSESORIS KIMONO
Hakama adalah
celana panjang pria yang dibuat dari bahan berwarna gelap. Celana jenis ini
berasal dari daratan Cina dan mulai dikenal sejak zaman Asuka. Selain
dikenakan pendeta Shinto, hakama
dikenakan pria dan wanita di bidang olahraga bela diri tradisional seperti kendo atau kyudo.
Geta adalah sandal
berhak dari kayu. Maiko memakai geta
berhak tinggi dan tebal yang disebut pokkuri
Kanzashi adalah hiasan
rambut seperti tusuk konde yang disisipkan ke rambut sewaktu memakai kimono.
Obi adalah sabuk
dari kain yang dililitkan ke tubuh pemakai sewaktu mengencangkan kimono
Waraji adalah sandal
dari anyaman tali jerami.
Zōri adalah sandal
tradisional yang dibuat dari kain atau anyaman.
F.
CARA PEMBUATAN
KIMONO
Ada
beberapa langkah-langkah untuk membuat sebuah kimono, yaitu:
1.
Potong empat panel persegi panjang dari kain menggunakan gunting. Mengukur
mereka dengan menggunakan penggaris dan meteran. Dua panel harus cukup panjang
untuk membentuk bagian tubuh. Panjang dari dua panel masing-masing harus
menjadi panjang kimono, yaitu, panjang dari pusat dari bahu ke pergelangan
kaki. Lebar untuk kedua panel harus setengah lingkar tubuh pada titik terlebar.
Potong dua panel yang lebih kecil untuk lengan. Panjang dan lebar lengan harus
diukur sesuai dengan preferensi pribadi dan dipotong sesuai. Lengan kimono
dapat menjadi pendek, panjang atau apa pun di antara.
2.
Jahit kedua panel yang lebih besar bersama-sama pada sisi panjang sampai
sekitar setengah jalan ke jahitan bek tengah. Pada kedua sisi, tandai ruang
bahu imajiner dengan pin. Jahit ujung pendek dari panel lengan seperti bahwa
jahitannya di bagian bawah lengan. Menggunakan pin, tanda jahitan bahu di sisi
berlawanan dari jahitan lengan. Pasang lengan ke bahu dengan cara mencocokkan
pin pada ruang bahu imajiner dan pin pada sisi berlawanan dari theseams pada
lengan.
3.
Potong dua panel yang lebih kecil, satu untuk kerah dan yang lainnya untuk
panel depan yang lebih kecil. Panjang panel depan harus panjang kimono dan
lebarnya harus 1 / 4 lingkar tubuh. Panel kerah harus cukup panjang untuk
menutupi kedua panel di bagian depan. Lebarnya dapat diukur mengingat
preferensi pengguna dan dipotong sesuai.
4.
Potong panel depan dalam setengah pada sudut yang tajam. Jahit ini di depan
pusat untuk memperpanjang lebar depan bawah. Tentukan pusat panel kerah dan
menjahit itu, mulai dari panel tubuh kembali dan kemudian meluas ke kedua panel
depan. Hal ini juga harus diperluas sepanjang jalan di bagian depan tengah.
Jahit jahitan samping dari kimono dari perbatasan sekitar 6 sampai 9 inci dari
lengan. Biarkan ketiak kimono untuk tetap terbuka.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pakaian Kimono sebagai pakaian tradisional Jepang memberikan
identitas bagi masyarakat Jepang yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal
dan adat ketimuran dalam hal ini ada beberapa nilai yang dapat dipelajari dalam
pakaian kimono yaitu:
- Pakaian kimono menunjukkan
konsistensi masyarakat Jepang yang tidak mudah goyah terhadap arus
perubahan yang terjadi di era globalisasi sekarang ini.
- Nilai kearifan lokal yang
menonjol dalam pakian kimono terletak pada karakter dan corak pakaian
tersebut. Karakter yang selalu menonojol adalah kerapaian, kebersihan dan
kelengkapan membentuk karakter manusia Jepang untuk selalu patuh dan taat
pada tradisi lokal.
- Pakaian kimono adalah salah
satu produk budaya yang berdaya cipta luhur sesuai dengan spirit
kejepangan.
- Pakaian kimono mempunyai makna
filosofis yaitu penghargaan terhadap leluhur dan mecintai keharmonisan.
- Pakaian kimono sebagai simbol penghargaan atas kaum
perempuan
yang menjaga adat ketimuran yaitu
adat yang suka melihat perempuan berpakaian pantas dan sopan di depan umum.
6. memberikan pesan moral bahwa
perempuan hendaknya selalu berpakaian yang rapi sopan dan pantas di depan umum
B.
SARAN
Sebagai pelajar yang mempelajari bahasa dan sastra Jepang,
ada baiknya mengetahui dan mempelajari budaya-budaya Jepang salah satunya
adalah pakaian-pakaian Jepang yaitu
Kimono. Mengetahui kimono sama artinya mengetahui salah satu kebudayaan Jepang.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar